Sejumlah
lagu-lagu Minang yang dibawakan perempuan kelahiran Tiku, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat pada 27 September 1944 itu, terkenal hingga hari
ini. Sebut saja lagu AyamDen Lapeh, Barek Solok, Kaparinyo, Si Nona,
Lamang tapai
, Dayung Palinggam, Kelok Sembilan, Roda Padati, dan Mudiak Arau.
Lagu-lagunya telah dimuat dalam puluhan piringan hitam, kaset, maupun
VCD selama 45 tahun. Meski lagu-lagu yang dibawakannya adalah lagu
daerah, tapi ia mampu menjadi legenda di antara penyanyi-penyanyi
kawakan di Tanah Air.
Hampir tiga perempat dari usianya dihabiskan Elly di Jakarta. Ketika
usianya masih beberapa bulan, ibunya, Emma Effendy berpisah dengan
ayahnya, Kasim. Ia pun diasuh oleh sang nenek di Jakarta.
Lalu
ketika mulai masuk sekolah dasar, neneknya yang berprofesi sebagai guru
di Jakarta, pensiun dan memilih pulang ke kampung halaman. Elly pun
kembali tinggal dengan ibunya dan ayah tirinya, Ali Umar di Bukit
Tinggi, Sumatera Barat, dan meneruskan sekolahnya di sana.
"Ketika saya akan naik kelas III SMP, kami sekeluarga pindah ke Pekanbaru, karena papa pindah tugas ke sana," katanya.
Menamatkan SMA-nya pada 1950-an, Elly pun hijrah kembali ke Jakarta
sampai sekarang. Saat itu ia tinggal bersama salah seorang pamannya. Di
tempat itulah ia mulai memasuki dunia tarik suara.
Ketika tiba di
Jakarta untuk kali kedua itu, lagu Minang berjudul Ayam Den Lapeh yang
dianalogikan sebagai kehilangan kekasih, tengah populer dinyanyikan
kelompok Orkes Gumarang. Tak hanya di Jakarta, lagu itu pun terdengar di
hampir seluruh pelosok Padang setiap hari.
"Lagu-lagu yang
dibawakan Orkes Gumarang semuanya bagus-bagus sehingga disenangi
masyarakat, bahkan tidak cuma oleh orang Padang tapi juga dari suku
lain. Soalnya walau lagu Minang, tapi lagu-lagu mereka mudah dicerna dan
dinikmati masyarakat dari luar Padang. Karena sering mendengarkan
lagu-lagu mereka, saya pun jadi ingin bisa menyanyi. Saat itu usia saya
sekitar 17 tahun," ujar Elly yang dipersunting Nazif Basir ini.
Ia
pun mulai mencoba ikut tes menyanyi di Radio Republik Indonesia (RRI)
Jakarta. Waktu itu televisi belum ada, dan untuk bisa bernyanyi di RRI
harus mengikuti seleksi layaknya sebuah festival.
Lagu Titik Puspa
berjudul Esok Malam Kau Ku Jelang, yang dibawakannya ketika itu,
membuatnya berhasil lolos seleksi. Selanjutnya ia diminta sang paman
untuk bergabung bersama teman-temannya dalam kelompok band Minang,
Gatario. Di kelompok band itu ia tampil bersama pimpinan orkes Kumbang
Tjari, Nuskan Syarif.
"Tidak lama setelah Nuskan Syarif bergabung
bersama kami, datang tawaran rekaman. Waktu itu kami membawakan lagu
berjudul Lamang Tapai, Mayang Ta' Urai, Sala-lauak, dan lain-lain," ia
menjelaskan.
Ia beruntung, karena sejak kehadiran Orkes Gumarang
yang dipimpin Asbon Majid, lagu-lagu daerah Minang mulai digemari
masyarakat luas, tidak terkecuali oleh masyarakat di luar Padang. Maka
ketika album pertama mereka beredar, masyarakat pun menyambut baik.
"Zaman dulu lagu daerah banyak diminati masyarakat, dan ujung tombak
lagu daerah ketika itu lagu-lagu Minang. Dan pelopor lagu pop Minang
adalah Orkes Gumarang. Setelah Orkes Gumarang muncul, barulah mulai
bermunculan lagu-lagu daerah lain," tuturnya.
Sukses di dunia tarik suara dan mulai dikenal masyarakat luas, Elly pun
kembali menggeluti dunia tari yang pernah ia tekuni semasa masih
bersekolah di Padang. Bersama sanggar tari Sangrina Bunda yang
didirikannya pada 1978, ia pun kerap berkunjung ke beberapa negara,
seperti Suriah, Uni Emirat Arab, Dubai, hingga Amerika Serikat. Kelompok
tarinya itu juga sering diminta tampil untuk menyambut tamu-tamu
kenegaraan di Istana Negara.
"Saat unjuk kebolehan di mancanegara
atau di Istana Negara kami tidak hanya membawakan tarian Minang, tapi
juga tari-tarian dari daerah lain," ia mengenang.
Kini, di sela-sela
kesibukannya show menyanyi dan menari, Elly bersama suaminya juga
tengah meneruskan usaha sang nenek di bidang pengadaan perlengkapan
pernikahan adat Sumatera Barat.
"Tak hanya menyediakan pelaminan,
kami juga bisa membantu mengatur tata cara perkawinan sesuai dengan adat
Minangkabau," ujarnya.
Dalam meneruskan usaha neneknya itu, Elly
dan suaminya memberikan beberapa modifikasi, baik itu pada pelaminan,
pakaian pengantin, maupun tata cara pelaksanaannya. "Modifikasi itu
dimaksudkan agar anak-anak Minang yang tidak lahir dan dibesarkan di
Padang tetap tertarik untuk menggunakan adat Minang dalam upacara
perkawinan mereka," katanya.
Di antaranya, dengan menghadirkan
tarian penyambutan tari gelombang di sebuah pesta perkawinan. Zaman dulu
tarian penyambutan hanya dihadirkan pada saat menyambut tamu-tamu raja
atau kenegaraan. Lalu saya melakukan beberapa perubahan. Namun, akhirnya
mereka bisa menerima, apalagi perubahan yang saya lakukan tetap
berpegang pada akar budaya Minangkabau. Dan kini tarian itu sudah lazim
ada di dalam setiap pesta pernikahan Minang," tutur ibu satu putri ini.
Wah .... Mantap gan ... Melihat Cik Uniang yang selalu awet muda ... jadi TAKANA JO KAMPUANG ... link mp3 lamanya disediain dong Gan ....
BalasHapusBoleh Request lagu-lagu nya dong ... cik uniang punya ....
BalasHapus